BAB
I
PENDAHULUAN
- Pengertian Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal
dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan
secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan
pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain :
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1, dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa.”
- Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut :
“Perkawinan ialah pertalian yang sah
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” (Subekti,
1985: 23).
- Menurut
Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang
pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui
Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang
dari segi sosial kemasyarakatan tersebut, maka Harry Elmer Barnes
mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah social institution atau
pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu
gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja
bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur
dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution
(Pudja, 1963: 48).
- Ter
Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat,
keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut
persoalan keagamaan. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri
mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus
silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak
semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami
istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum
adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak
suami. Bukan itu saja, menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak
hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur
mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara
perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta
restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
- Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan sekala niskala
(lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya
alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kami
dapat menyimpulkan bahwa : pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (sekala dan
niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.
2.
Tujuan
Wiwaha Menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk
individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk
mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan
berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah
menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial
bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling
membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini
diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan
kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra
IX. 96 sebagai berikut :
“Prnja nartha striyah
srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah
crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk
menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan
di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya.” (Pudja dan
Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah
“Menumbuhkembangkan Pendidikan Agama pada Keluarga” disebutkan bahwa tujuan
perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal berikut, yaitu :
- Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi, sebuah
perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan Undang - Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan
tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Maka
dalam Agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan
adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup
manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX.
101-102 sebagai berikut :
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah
stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan
yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum
tertinggi sebagai suami istri.”
“Tatha nityam yateyam
stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau
wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan
perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak
jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain.” (Pudja, dan Sudharta,
2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas
bahwa Agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya,
dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan
tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan
kekal, maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran
Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut :
“Samtusto bharyaya bharta
bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam
kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami
berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya,
kebahagiaan pasti kekal.” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tujuan wiwaha menurut Agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan
menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra
sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).
BAB
II
PEMBAHASAN
Kasus perceraian diatur dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada masalah di balik aturan
hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi
kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak
mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi Hukum Adat Bali dan Agama
Hindu. Aturan ini menegaskan bahwa perceraian sah setelah ada keputusan dari
pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran Hukum Adat Bali (prajuru
desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya dialami oleh warga yang
tertimpa musibah perceraian. Walau keputusan pengadilan mengesahkan gugatan
perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak
segera dapat diketahui prajuru desa pakraman. Forum Pesamuhan Agung ke-3
Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung
Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons
bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara
patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan
sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut. Berikut isi rumusan selengkapnya.
Hukum Adat Bali mengenal dua bentuk
perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan
perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga
istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon
pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk
perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul
bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi
persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk
perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap
sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali
Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan
tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi
dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi
karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan
dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan
maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di
Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut Hukum Adat Bali
(disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan Agama Hindu. Sesuai
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali
dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama
Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan
di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak
jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang
kepada Hukum Adat Bali dan Agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan
perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum Adat Bali dan ajaran
Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi
tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah
setelah ada keputusan pengadilan, tanpa menyebut peran Hukum Adat Bali (prajuru
desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang
telah cerai secara sah berdasarkan keputusan pengadilan, tetapi tidak diketahui
oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh
prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap
keberadaan Hukum Adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan
swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan
Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak
dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Bagi calon
pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan
biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada
gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Agar proses perceraian sejalan dengan proses
perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami
istri yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya
itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat
untuk mencegah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian, terlebih
dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan
mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan. Selain itu, ada
penyampaian salinan keputusan perceraian atau akta perceraian kepada
prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar
atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya
melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam
paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah
bercerai secara sah, menurut Hukum Nasional dan Hukum Adat Bali, sekalian
menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa
pakraman setelah perceraian.
Selain itu, ada akibat hukum jika terjadi
perceraian suami - istri. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana
(istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke
rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali
melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal. Masing-masing
pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan)
dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
Setelah perceraian, anak yang dilahirkan
dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan
pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak
tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
2. Hak Asuh Anak Setelah dalam Kasus Perceraian
Hak asuh anak merupakan permasalahan yang sering muncul
pada pasangan yang bercerai. Hak asuh anak seringkali menjadi hal yang sulit
diputuskan oleh pengadilan yaitu pada siapa anak ini akan dibesarkan, ayah atau
ibunya.
Perceraian dalam Hindu merupakan kasus yang hampir
dilarang, apalagi bila diajukan oleh sang istri. Sebab dalam Hindu hanya memberikan
sedikit hak pada wanita. Sementara itu, hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur
dan disesuaikan dengan peraturan di negara tersebut.
Kebanyakan, seperti hak asuh anak diberikan kepada salah
satu pihak orang tua yang mampu menjamin kesejahteraan sang anak. Kesejahteraan
itu meliput mencukupi kebutuhan fisik dan moral, serta kasih sayang. Adapula
negara yang menambahkan beberapa aturan, misalnya di India, seperti: anak - anak
diasuh oleh ibunya, anak perempuan yang beranjak dewasa diasuh oleh ibunya,
sementara anak laki-laki yang di atas 16 tahun berhak memilih akan tinggal
dengan siapa nantinya.
Sementara itu, jika seorang ibu diketahui telah
menelantarkan anaknya dengan disengaja maupun tidak, atau keberatan merawat si
anak, maka hak asuh terhadap anaknya akan dicabut dan diurus kembali ke
pengadilan.
Jika kedua orang tua tidak ada yang sanggup memenuhi
kebutuhan sang anak atau berkeberatan, maka pihak ketiga boleh mengambil hak
asuh tersebut. Pihak ketiga boleh berasal dari kakek/nenek, atau saudara yang
lain selama mereka mampu menjamin kesejahteraan sang anak.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pengertian dapat
disimpulkan bahwa : pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (sekala dan
niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga
bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.
Dapat disimpulkan pula bahwa
tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan
menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra
sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).
Sementara itu, perceraian dalam Hindu,
selain berdasarkan keputusan pengadilan, keputusan dari Hukum Adat Bali juga
berperan penting dalam mengesahkan perceraian itu. Dalam proses perceraian,
pasangan yang akan bercerai harus menyelesaikan perceraian secara adat dahulu,
baru kemudian dapat mengajukannya ke pengadilan untuk mendapat keputusan.
Sedangkan hak asuh anak dalam Agama
Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara yang bersangkutan.
2.
Saran
Sebelum melakukan perkawinan hendaknya
dipikirkan dengan matang, agar tidak sampai terjadi adanya perceraian. Dan apabila
terpaksa menggunakan jalur perceraian, hendaknya memikirkan dampak baik dan
buruknya terhadap hubungan Anda, keluarga, diri sendiri, dan mental anak (jika
sudah punya anak).
DAFTAR PUSTAKA
No comments :
Post a Comment