Friday, December 20, 2013

Makalah Agama Hindu


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Pengertian   Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain :

 
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1, dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.”
  1. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut :
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” (Subekti, 1985: 23).
  1. Menurut Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).

  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut, maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah social institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).

  3. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja, menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).

  4. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa :  pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.

2.      Tujuan  Wiwaha Menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut :
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya.” (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).   
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan Pendidikan Agama pada Keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal berikut, yaitu :
  1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
  2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
  3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.        
      Lebih jauh lagi, sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Maka dalam Agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut :
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa Agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal, maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut :
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal.”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan  wiwaha menurut Agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).



BAB II
PEMBAHASAN
Kasus perceraian diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada masalah di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi Hukum Adat Bali dan Agama Hindu. Aturan ini menegaskan bahwa perceraian sah setelah ada keputusan dari pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya dialami oleh warga yang tertimpa musibah perceraian. Walau keputusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru desa pakraman. Forum Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut. Berikut isi rumusan selengkapnya.
Hukum Adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri).  Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod.  Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu  bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut Hukum Adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan  Agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali,  agama Hindu,  sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada Hukum Adat Bali dan Agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum Adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada keputusan pengadilan, tanpa menyebut peran Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan keputusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan Hukum Adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri  yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan. Selain itu, ada penyampaian salinan  keputusan perceraian atau akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut Hukum Nasional dan Hukum Adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman setelah perceraian.
Selain itu, ada akibat hukum jika terjadi perceraian suami - istri. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

2.      Hak Asuh Anak Setelah dalam Kasus Perceraian
Hak asuh anak merupakan permasalahan yang sering muncul pada pasangan yang bercerai. Hak asuh anak seringkali menjadi hal yang sulit diputuskan oleh pengadilan yaitu pada siapa anak ini akan dibesarkan, ayah atau ibunya.
Perceraian dalam Hindu merupakan kasus yang hampir dilarang, apalagi bila diajukan oleh sang istri. Sebab dalam Hindu hanya memberikan sedikit hak pada wanita. Sementara itu, hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara tersebut.
Kebanyakan, seperti hak asuh anak diberikan kepada salah satu pihak orang tua yang mampu menjamin kesejahteraan sang anak. Kesejahteraan itu meliput mencukupi kebutuhan fisik dan moral, serta kasih sayang. Adapula negara yang menambahkan beberapa aturan, misalnya di India, seperti: anak - anak diasuh oleh ibunya, anak perempuan yang beranjak dewasa diasuh oleh ibunya, sementara anak laki-laki yang di atas 16 tahun berhak memilih akan tinggal dengan siapa nantinya.
Sementara itu, jika seorang ibu diketahui telah menelantarkan anaknya dengan disengaja maupun tidak, atau keberatan merawat si anak, maka hak asuh terhadap anaknya akan dicabut dan diurus kembali ke pengadilan.
Jika kedua orang tua tidak ada yang sanggup memenuhi kebutuhan sang anak atau berkeberatan, maka pihak ketiga boleh mengambil hak asuh tersebut. Pihak ketiga boleh berasal dari kakek/nenek, atau saudara yang lain selama mereka mampu menjamin kesejahteraan sang anak.



BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa : pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.
Dapat disimpulkan pula bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Sementara itu, perceraian dalam Hindu, selain berdasarkan keputusan pengadilan, keputusan dari Hukum Adat Bali juga berperan penting dalam mengesahkan perceraian itu. Dalam proses perceraian, pasangan yang akan bercerai harus menyelesaikan perceraian secara adat dahulu, baru kemudian dapat mengajukannya ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Sedangkan  hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara yang bersangkutan.

2.      Saran
Sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dengan matang, agar tidak sampai terjadi adanya perceraian. Dan apabila terpaksa menggunakan jalur perceraian, hendaknya memikirkan dampak baik dan buruknya terhadap hubungan Anda, keluarga, diri sendiri, dan mental anak (jika sudah punya anak).



DAFTAR PUSTAKA

No comments :